Pakar ITB Sebut Data Petir BMKG Tak Bisa Dipakai di Kebakaran Kilang, Alasannya?
Kasus kebakaran tangki bahan bakar minyak di area kilang Pertamina secara berulang diwarnai kontroversi soal peran petir. Pakar petir dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Syarif Hidayat mengatakan ada alat untuk mendeteksi dan verifikasi petir yang bisa dipasang Pertamina.
“Setidaknya kita tidak akan terlalu lama berdebat tentang penyebab (kebakaran) karena petirnya kan tidak bisa menjawab,” ujarnya kepada Tempo, Senin, 15 November 2021.
Dosen Sekolah Teknik Eletro dan Informatika ITB di Kelompok Keahlian Teknik Ketenagalistrikan itu menganjurkan Pertamina memasang alat deteksi yang lebih akurat. Fungsi alat itu untuk mendeteksi perubahan medan listrik di bawah awan petir. “Alatnya dipasang di darat, sayangnya Pertamina belum memasang alat serupa ini,” kata Syarif.
Adapun alat verifikasinya apakah ada sambaran petir atau tidak, di area kilang bisa dipasang kamera pengawas atau CCTV. Cakupan kameranya pada seluruh langit di atas area kilang dari sudut-sudut yang cocok.
“Saya menganjurkan yang paling murah dipasang, yaitu CCTV,” ujarnya. Pada kasus kebakaran, kaitan petir dari rekaman kamera pengawas bisa diukur berdasarkan waktu kejadian ditambah data lain, yaitu jarak petirnya.
Menurut Syarif, jika ada selisih waktu kejadian petir dengan kebakaran lebih dari dua detik, praktis sebetulnya tidak ada kaitan, apalagi kalau jarak petirnya juga lebih dari 1 kilometer. “Data itu harus akurat sampai detik yang sama, barulah bisa disebutkan bukti bahwa di titik itu ada sambaran petir,” katanya.
Kontroversi petir dalam kasus kebakaran tangki minyak Pertamina seperti di Balongan misalnya, juga merembet ke isu data dari alat deteksinya. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) misalnya, bersikukuh saat waktu kebakaran itu tidak ada kejadian petir, namun sebaliknya dalam laporan Pertamina.
Syarif menilai BMKG tidak punya alat yang cukup akurat untuk mendeteksi terjadinya sambaran petir. Alat-alat milik BMKG hanya indikatif saja. Jarak petirnya juga bisa meleset, petirnya bisa tidak tercatat, atau petirnya jauh dari lokasi yang sebenarnya. “Untuk bukti petir data BMKG tidak bisa dipakai, dia hanya indikatif saja,” kata penggagas Ventilator Portable Indonesia untuk penanganan Covid-19 itu.
Alat deteksi petir BMKG, menurut Syarif, akurasi ketelitian lokasi petirnya sangat rendah. “Alat BMKG hanya deteksi petir, bukan alat penunjuk lokasi petir. Alatnya memang tidak punya spesifikasi seperti yang diperlukan,” katanya. Dari sisi waktu dan lokasi kejadian petir, data BMKG dinilainya tidak cukup akurat.
Sementara alat dan jaringan deteksi petir milik PT PLN, menurut Syarif, data waktu dan lokasi kejadian dengan pemakaian perangkat Global Positioning System (GPS) dinilai sangat akurat. Tetapi, tingkat ketelitian alatnya sangat tergantung pada di mana petir itu terjadi dan biometrik atau verifikasi dari jaringan detektor petirnya. “Juga masih bisa meleset dengan orde 3-5 kilometer,” katanya.
Kepala Pusat Seismologi Teknik, Geofisika Potensial dan Tanda Waktu BMKG Rahmat Triyono mengatakan alat BMKG mendeteksi titik petir di udara. Titik udara itu, dia misalkan di ketinggian 14 kilometer di suatu daerah. “Pas kilatan pertama itu yang kita deteksi, bahwa menyambar kemana itu tidak terdeteksi pasti sebarannya kemana,” katanya kepada Tempo, Ahad, 14 November 2021.